Hai guys hari ini saya mau kupas tentang pengertian ikhtilaf dan urgensi urgensi,walaupun tidak setajam silet kebetulan saya mahasiswa yang belajar disalah satu perguruan tinggi ini, ini buat mahasiswa yg capek nyari buku silahkan copas atau supaya gak ketahuan dosen dicari bahan yang lain seterusnya dijadikaan satu hehehehehe ok tanpa panjang lebar dari basi basinya simak yang dibawah ini.
URGENSI MEMAHAMI IKHTILAF
DALAM DAKWAH
Berbicara mengenai strategi dalam
melaksanakan tugas dakwah, tidak akan terlepas dari salah satu hal, yaitu hikmah.Hikmah ini bukanlah seberapa
besar kebaikan yang akan diberikan seseorang terhadap orang lain. Tetapi Hikmah adalah bagaimana kita peka
terhadap kebutuhan mad’u (obyek
dakwah) dan seberapa besar manfaat yang dapat diberikan pada mad’u( objek dakwah).Oleh karenanya mad’u terlekatkan hatinya pada dakwah,
kebenaran, dan kebaikan.
Salah satu hal yang perlu diketahui
oleh para seorang da`i adalah perlunya memahami serta mendalami hal-hal
yang diperselisihkan oleh para ulama atau yang disebut dengan ikhtilaf ulama sehingga diharapkan dapat
memberikan solusi dalam menyelesaikan berbagai masalah termasuk konflik umat
Islam yang berawal dari masalah khilafiyyah.
Pengertian
Ikhtilaf
Secara bahasa (etimologi) Ikhtilaf berasal dari bahasa
Arab dari kata خَلَفَ yang berarti ber-beda, mengganti, membelakangi, meninggalkan
keturunan. Ada istilah lain yang seakar dengan kata tersebut, misalnya khalifah,
khulafa`ur Rasyidin, khilaf, khilafah.
Sedangkan secara istilah (terminology)
ikhtilaf adalah :
أَنْ يَأْخُذَ كُلُّ وَاحِدٍ طَرِيْقًا غَيْرَ طَرِيْقِ الأَخَرَ فِى
حَالِهِ أَوْ قَوْلِهِ
“Ikhtilaf ialah seseorang mengambil jalan/cara berbeda dengan jalan
yang lainnya baik dalam ke-adaannya atau perkataannya”.
اَلخِلاَفُ وَ الْإِخْتِلاَفُ يُرَادُ بِهِ مُطْلَقُ الْمُغَايَرَةِ
فِيْ الْقَوْلِ أَوِ الرَّأْيِ أَوِ الْحَالَةِ أَوِ الْهَيْئَةِ أَوِ الْمَوْقِفِ
“Khilaf atau
ikhtilaf, dimaksudkan dengannya semata-mata perbeedaan, baik dalam ucapan,
pendapat, keadaan, cara atau pendirian.”
Macam-macam
Ikhtilaf
1. Ikhtilaful A-Qulub(perbedaan dan
perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (per-pecahan) dan
oleh karenanya ia tertolak dan tidak dapat ditolerir.
2. Ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), terbagi
menjadi dua bentuk :
a.
Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushuliyyah (prinsip). Ini
pun termasuk kategori tafarruq (per-pecahan) dan oleh karenanya ia
tertolak dan tidak ditolerir pula. Ikhtilaf dalam masalah ini adalah
tidak boleh.
b.
Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’iyyah (cabang, non
prinsip). Ini termasuk kategori ikhtilaf (perbedaan) yang
diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan
per-selisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama
dalam makalah ini. Dan seluruh perbedaan dikalangan para ulama mujtahidin
adalah perbedaan dalam kategori ini.
Antara Ikhtilaf
(Perbedaan) dan Tafarruq (Perpecahan)
1.
Setiap tafarruq
(perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan)
2.
Tidak setiap
ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpe-cahan)
Namun setiap ikhtilaf
bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq antara lain disebab- kan
:
a. Karena pengaruh hawa nafsu. Misalnya merasa paling
benar, paling memahami al-Qur`an dan Sunnah sehingga menimbulkan kesombongan
dan merendahkan dan menolak pendapat orang lain meskipun pendapat itu benar.
b. Karena salah persepsi (salah mempersepsikan masalah).
Misal yang furu`iyyah dianggap masalah ushuliyyah atau sebaliknya.
c. Karena tidak menjaga moralitas dan etika dalam berbeda
pendapat.
Hakekat IkhtilafDalam
Masalah Furu’ (Ijtihadiyah)
1. Ikhtilaf (perbedaan pendapat)
yang dimaksud adalahperbedaan pendapat yang terjadi diantara para imam
mujtahid dan ulama mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah furu’ yang
merupa-kan hasil dan sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka
lakukan.
2. Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah
furu’ (ijtihadiyah) adalah fenomena yang normal dan wajar karena dua hal :
a.
Tabiat teks-teks
dalil syar’i yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadits yang berpotensi
untuk diperbedakan dan diperselisihkan, perbedaan jenis ini banyak di sebabkan
karena per-bedaan dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an maupun hadits.
b.
Tabiat akal
manusia yang beragam daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pema-hamannya.
c.
Fenomena perbedaan
pendapat dalam masalah furu’(ijtihadiyah) adalah fenomena klasik yang
sudah terjadi sejak generasi salaf, dan merupakan realita yang diakui,
diterima dan tidak mungkin ditolak atau dihilangkan sampai kapan pun karena
memang sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan tetap selalu ada.
Sebab – Sebab
Ikhtilaf
Dapat disimpulkan
dan dikelompokkan ke dalam empat sebab utama:
1. Perbedaan pendapat tentang valid – tidaknya suatu
teks dalil syar’i sebagai hujjah.
2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i
tertentu, seperti yang telah disebutkan dalam contoh di atas.
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh
dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang
tidak ada nash-nya), seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah,
’urf, syaddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan
situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya.
Contoh
Masalah Ikhtilaf.
Berikut ini saya ungkapkan secara
singkat tentang perbedaan para ulama dalam memahami hadits isbalyang
kurang dipahami oleh sebagian orang.Karena masalah ini sering dijadikan sebagai
bahan pertengkaran terkait dengan vonis bid`ah, dan menganggap orang
tidak memahami sunnah.
Hadits-hadits Tentang Isbal
a.
Hadits dari Abu
Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ
مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW beliau bersabda: Apa saja yang melebihi dua mata
kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka. (HR. Bukhari No. 5787, Al-Nasa’i dalamkitab Al-Sunan Al-Kubra No. 9705, AlauddinAl-Muttaqi Al-Hindi dalam Kanzul ‘Umal No. 41158)
b.
Hadits dari Abu
Hurairoh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim sebagai berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa
Rasul SAWbersabda: “Allah tidak melihat pada hari kiamat nanti kepada
orang yang menjulurkan kainnya (hingga melewati mata kaki) dengan sombong.”
(HR. Bukhari No. 5788. Muslim No. 2087).
c.
Hadits dari Salim yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori sebagai berikut:
عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ
الْخُيَلَاءِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو
بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا
أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Artinya: Dari Salim dari ayahnya, bahwa Rasul
SAWbersabda: Barangsiapa
yang menjulur-kan pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat nanti.” Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku salah seorang yang celaka, kainku turun, sehingga aku selalu
memeganginya.” Maka Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang yang melakukannya
karenakesombongan.”(HR.Bukhari No.3665, Al-Nasa’i No. 5335,Ahmad No. 5351)
Pemahaman
para ulama terhadap hadits Isbal
Dalam memahami hadits tentang isbal diatas, maka ada tiga
kelompok ulama yang ber-beda tentang pemahaman hadits tersebut sebagai
berikut:
1.
Ulama yang membolehkan.
Kelompok ini mengatakan bahwa hadits tentang larangan isbal adalah global (muthlaq),
sedangkan dalil global harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad).
Jadi, secara global isbal memang
dilarang yaitu haram, tetapi ada
sebab (‘illat) yang mentaqyid-nya yaitu karena sombong (khuyala’).
Kaidahnya ushul adalah Hamlul muthlaq ilal muqayyad (dalil
yang global mesti dibawa atau dipahami kepada dalil yang mengikatnya ataumengkhususkannya).
Imam Abu Hanifah dalam Al-Adab
Asy-Syar’iyyah, yang di tulis oleh Ibnu Muflih al-Hambali mengatakan
sebagai berikut:
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ
وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ
قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ
لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي
الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
Artinya: Berkata pengarang Al-Muhith dari kalangan Hanafiyah
dan diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifahmemakai mantel mahal seharga empat
ratus dinar yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya:
“Bukankah kita dilarang melakukan itu..?” Imam Abu Hanifah menjawab: Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk
yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu
Muflih, Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al Islam).
Sedangkan Imam
Ahmad bin Hambal dalam kitab yang sama yaitu kitab Al-Adab Asy-
Syar’iyyah mengatakan sebagai berikut:
وَقَالَ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ
إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ
وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ
Artinya: Dalam satu riwayat
Hambal berkata: “Menjulurnya kain sarung, jika tidak dimaksudkan untuk sombong,
maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan zhahir perkataan lebih dari satu
sahabat-sahabatnya(Imam Ahmad).
Sementara itu dalam kitab Kasysyaf Al Qina’ telahdisebutkan sebagai berikut:
قَالَ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ
الْإِزَارِ ، وَإِسْبَالُ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ ، إذَا لَمْ يُرِدْ
الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ ( مَا لَمْ يُرِدْ التَّدْلِيسَ عَلَى النِّسَاءِ )
فَإِنَّهُ مِنْ الْفُحْشِ
.
Artinya: Berkata Imam Ahmad dalam
riwayat Hambal: Menjulurkan kain sarung, dan memanjangkan selendang (sorban) di
dalam shalat, jika tidak ada maksud sombong, maka tidak mengapa (selama tidak
menyerupai wanita), jika demikian maka itu berbuatan keji.” (Imam Al-Bahuti, Kasysyaf Al Qina’, 2/ 304. Mawqi’ Al Islam. Juga Imam Ar
Rahibani, Mathalib Ulin Nuha,
2/363. Mawqi’ Al Islam Lihat juga Imam Ibnu Taimiyah, Syarhul‘Umdah,Hal.361.Cet.1,1998M-1428H Darul ‘Ashimah Riyadh. KSA. )
Ibnu
Taimiyah yang merupakan ulama yang bermazhab
Hambali dalam Al-Adab Asy-Syar’iyyah mengungkapkan bahwa :
وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ
رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا
عَدَمِهَا
Artinya: Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu
Taimiyah) memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai
perbuatan makruh, dan tidak pula menging-karinya.”
Dan Imam Abul Hasan Al-Malikiyang beliau ulama bermadzhab Maliki, penyusun kitab Kifayatuth Thaalib.
Berkata Imam Ali bin Ahmad Ash Sha’idi Al
‘Adawidalam Hasyiyah-nya terhadap Kifayatuth Thalib:
ثُمَّ أَقُولُ : وَعِبَارَةُ الْمُصَنِّفِ تَقْتَضِي
أَنَّهُ يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَجُرَّ ثَوْبَهُ أَوْ إزَارَهُ إذَا لَمْ
يَقْصِدْ بِذَلِكَ كِبْرًا أَوْ عُجْبًا
Artinya: Kemudian saya katakan: perkataan Al-Mushannif (penyusun kitab Kifayatutj
Thalib) menunjukkan kebolehan bagi laki-laki menjulurkan pakaiannya atau
kain sarungnya jika dia tidak bermaksud sombong atau ‘ujub. (Hasyiyah Al-‘Adawi, 8/111. Mawqi’ Al-Islam)
2.
Ulama yang memakruhkan
Kelompok ini adalah kelompok
mayoritas, mereka menggunakan kaidah yang sama dengan kelompok yang
membolehkan, yakni larangan isbal
mesti dibatasi oleh khuyala (sombong). Hanya saja kelompok ini tidak
mengatakan boleh jika tanpa sombong, mereka menilainya sebagai makruh tanzih,
tapi tidak pula sampai haram.Disebutkan dalam Al- Mausu’ah:
وَاخْتَلَفُوا فِي إِطَالَتِهَا إِلَى أَسْفَل مِنَ
الْكَعْبَيْنِ مِنْ غَيْرِ كِبْرٍ وَلاَ اخْتِيَالٍ وَلاَ حَاجَةٍ : فَذَهَبَ
الْجُمْهُورُ إِلَى الْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ
Artinya: Mereka berbeda pendapat dalam hal memanjangkannya
sampai melewati dua mata kaki dengan tanpa sombong dan tanpa kebutuhan: madzhab
jumhur ulama (mayoritas) adalah menyatakan sebagai makruh tanzih. (Al-Mausu’ah
Al-Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
34/170)
Para ulama menyebutkan bahwa hukum
makruh ada dua macam, yakni makruh tanzihdan makruh tahrim. Makruh
tanzihadalah makruh yang mendekati mubah (boleh). Makruh tahrim adalah makruh yang mendekati haram.
Imam Asy Syafi’i dan Imam An-NawawidalamAl-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi berkata:
وَأَنَّهُ لَا يَجُوز إِسْبَاله تَحْت
الْكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ
مَكْرُوه ، وَظَوَاهِر الْأَحَادِيث فِي تَقْيِيدهَا بِالْجَرِّ خُيَلَاء تَدُلّ
عَلَى أَنَّ التَّحْرِيم مَخْصُوص بِالْخُيَلَاءِ
Artinya: Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika
sombong, jika tidak sombong maka makruh
(dibenci). Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki pembatasan (taqyid) jika menjulurkan dengan sombong,
itu menunjukkan bahwa pengharaman hanya khusus bagi yang sombong.” (kitabAl-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitab Al-Libas Waz Zinah
Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz Juz. 7, Hal. 168, No
hadits. 3887. Mawqi’ Ruh Al-Islam).
Dalam kitab lainnya:
وَقَالَ النَّوَوِيّ : الْإِسْبَال تَحْت
الْكَعْبَيْنِ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ،
وَهَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيّ عَلَى الْفَرْق بَيْن الْجَرّ لِلْخُيَلَاءِ
وَلِغَيْرِ الْخُيَلَاء ، قَالَ : وَالْمُسْتَحَبّ أَنْ يَكُون الْإِزَار إِلَى
نِصْف السَّاق ، وَالْجَائِز بِلَا كَرَاهَة مَا تَحْته إِلَى الْكَعْبَيْنِ ،
وَمَا نَزَلَ عَنْ الْكَعْبَيْنِ مَمْنُوع مَنْع تَحْرِيم إِنْ كَانَ
لِلْخُيَلَاءِ وَإِلَّا فَمَنْع تَنْزِيه ، لِأَنَّ الْأَحَادِيث الْوَارِدَة فِي
الزَّجْر عَنْ الْإِسْبَال مُطْلَقَة فَيَجِب تَقْيِيدهَا بِالْإِسْبَالِ
لِلْخُيَلَاءِ اِنْتَهَى
Artinya: Berkata An Nawawi: “Isbal dibawah mata kaki dengan
sombong (haram hukumnya, pen), jika tidak sombong maka makruh. Demikian
itu merupakan pendapat Asy Syafi’i tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian
dengan sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata: Disukai memakai kain
sarung sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah
betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan
pelarangan haram jika karena sombong, jika tidak sombong maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang
ada yang menyebutkan dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum),
maka wajib mentaqyidkan (mengkhususkan/membatasinya)
hadits itu adalah karena isbal
yang dimaksud jika disertaikhuyala
(sombong). Selesai.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul
Bari, Kitab Al-Libas Bab Man
Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 10, Hal. 263. Darul Fikri. Lihat juga Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra
Tsaubahu Khuyala’, Juz. 4, Hal. 158. Cet. 4, 1960M-1379H. Maktabah
Mushtafa Al Baabi Al Halabi. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al-Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al
Hamil, Juz. 2, Hal. 114. Maktabah Ad Da’wah )
Imam Ibnu Qudamah beliau berkata sebagai berikut:
وَيُكْرَهُ إسْبَالُ الْقَمِيصِ وَالْإِزَارِ
وَالسَّرَاوِيلِ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ
بِرَفْعِ الْإِزَارِ فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُيَلَاءِ حَرُمَ
Artinya: Dimakruhkan isbal (memanjangkan) gamis (baju
kurung), kain sarung, dan celana panjang, karena Nabi SAW memerintahkan menaikannya. Tetapi jika isbal dengan sombong
maka haram.” (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni,
Al Fashlu Ats-Tsalits Maa Yakrahu fi
Ash Shalah, Juz. 3, Hal. 21)
3.
Ulama yang Mengharamkan.
Kelompok ini berpendapat bahwa isbal adalah haram baik dengan sombong
atau tidak, dan dengan sombong keharamannya lebih kuat dengan ancaman neraka,
jika tidak sombong maka tetap haram dan Allah tidak mau melihat di akhirat
nanti kepada pelakunya (musbil). Kelompok ini memahaminya sesuai
zahirnya hadits.
Imam Ibnu Hajar al-`Asqalani Rahimahullah dahulu saya mengira beliau
hanya memakruhkan, yaitu ketika saya membaca bagian berikut ini:
وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار
لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة ، وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر
الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا ، لَكِنْ اُسْتُدِلَّ بِالتَّقْيِيدِ فِي هَذِهِ
الْأَحَادِيث بِالْخُيَلَاءِ عَلَى أَنَّ الْإِطْلَاق فِي الزَّجْر الْوَارِد فِي
ذَمّ الْإِسْبَال مَحْمُول عَلَى الْمُقَيَّد هُنَا ، فَلَا يَحْرُم الْجَرّ
وَالْإِسْبَال إِذَا سَلِمَ مِنْ الْخُيَلَاء .
Artinya: “Hadits-hadits ini
menunjukkan bahwa menjulurkan kain sarung dengan sombong adalah dosa besar,
sedangkan jika tidak dengan sombong menurut zhahir hadits adalah haram juga.
Tetapi hadits-hadits yang ada menunjukkan harus dibatasi dengan khuyala (kesombongan) lantaran
hadits-hadits yang menyebutkan ancaman dan celaan isbal masih bersifat mutlak (umum), maka dari itu yang umum
harus dibatasi di sini.Maka, tidak haram menjulurkan pakaian jika selamat dari
rasa sombong.”
Ternyata jika
kita baca secara utuh, tulisan di atas belum selesai, Imam Ibnu Hajar hanya sedang memaparkan berbagai pendapat dan
alasannya.Adapun pendapatnya sendiri ter-nyata dia juga mengharamkan baik
dengan sombong atau tidak sombong.
Berikut
ini ucapannya:
وَحَاصِله أَنَّ الْإِسْبَال يَسْتَلْزِم جَرّ
الثَّوْب وَجَرّ الثَّوْب يَسْتَلْزِم الْخُيَلَاء وَلَوْ لَمْ يَقْصِد اللَّابِس
الْخُيَلَاء ، وَيُؤَيِّدهُ مَا أَخْرَجَهُ أَحْمَد بْن مَنِيع مِنْ وَجْه آخَر
عَنْ اِبْن عُمَر فِي أَثْنَاء حَدِيث رَفَعَهُ " وَإِيَّاكَ وَجَرّ الْإِزَار
فَإِنَّ جَرّ الْإِزَار مِنْ الْمَخِيلَة " وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ مِنْ
حَدِيث أَبِي أُمَامَةَ " بَيْنَمَا نَحْنُ مَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ لَحِقَنَا عَمْرو بْن زُرَارَةَ الْأَنْصَارِيّ فِي
حُلَّة إِزَار وَرِدَاء قَدْ أَسْبَلَ ، فَجَعَلَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْخُذ بِنَاحِيَةِ ثَوْبه وَيَتَوَاضَع لِلَّهِ وَيَقُول :
عَبْدك وَابْن عَبْدك وَأَمَتك ، حَتَّى سَمِعَهَا عَمْرو فَقَالَ : يَا رَسُول
اللَّه إِنِّي حَمْش السَّاقَيْنِ ، فَقَالَ : يَا عَمْرو إِنَّ اللَّه قَدْ
أَحْسَنَ كُلّ شَيْء خَلَقَهُ ، يَا عَمْرو إِنَّ اللَّه لَا يُحِبّ الْمُسْبِل
" الْحَدِيث
Artinya: Kesimpulannya, isbal itu melazimkan terjadinya
menjulurnya pakaian, dan menjulurkan pakaian melazimkan terjadinya kesombongan,
walaupun pemakainya tidak bermaksud sombong. Hal ini dikuatkan oleh riwayat
Ahmad bin Mani’ dari jalur lain Ibnu Umar yang dia marfu’kan: “Jauhilah oleh kalian menjulurkan kain sarung, karena
sesungguhnya menjulurkan kain sarung merupakan kesombongan (al-makhilah).” Ath-Thabarani
meriwayatkan dari Abu Umamah, “Ketika kami bersama Rasul SAW,
kami berjumpa dengan Amru bin Zurarah al Anshari yang mengenakan mantel secara isbal, maka RasulSAW mengambil bagian tepi pakaiannya
merendahkan dirinya kepada Allah, lalu berdoa: “Ya Allah hambaMu, anak hambaMu,
anak hamba Mu yang perempuan. (bisa juga bermakna “Demi Allah“), sampai
akhirnya Amr mendengarkan itu, lalu dia berkata: “Ya Rasul sesungguhnya aku merapatkan kedua betisku
(maksudnya jalannya tidak dibuat-buat, pen).”
Maka nabi bersabda: “Wahai Amr, sesungguhnya Allah telah mencipta- kan segala
sesuatu dengan sebaik-baiknya, wahai Amr sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang yang musbil.” (Lihat Imam
Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al
Jami’ Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’, Juz. 4, Hal. 158 )
Imam Abu Bakar
bin Al ‘Arabi Rahimahullah.
Sebagian kalangan Malikiyah ada yang
meng-haramkan di antaranya adalah Imam
Ibnul Arabi, berikut perkataannya:
قَالَ ابْنُ الْعَرَبِيِّ : لَا يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ
يُجَاوِزَ بِثَوْبِهِ كَعْبَهُ وَيَقُولُ : لَا أَجُرُّهُ خُيَلَاءَ ، لِأَنَّ
النَّهْيَ قَدْ تَنَاوَلَهُ لَفْظًا وَلَا يَجُوزُ لِمَنْ تَنَاوَلَهُ لَفْظًا
أَنْ يُخَالِفَهُ إذْ صَارَ حُكْمُهُ أَنْ يَقُولَ : لَا أَمْتَثِلُهُ ، لِأَنَّ
تِلْكَ الْعِلَّةَ لَيْسَتْ فِي . فَإِنَّهَا دَعْوَى غَيْرَ مُسَلَّمَةٍ ، بَلْ
إطَالَةُ ذَيْلِهِ دَالَّةٌ عَلَى تَكَبُّرِهِ انْتَهَى .
Artinya: Ibnul ‘Arabi berkata:
“Tidak boleh bagi seorang laki-laki membiarkan pakaiannya hingga mata kakinya
lalu berkata: Saya menjulurkannya dengan tidak sombong.” Karena secara
lafaz, sesungguhnya larangan tersebut telah mencukupi, dan tidak
boleh juga lafaz yang telah memadai itu ada yang menyelisihinya secara hukum,
lalu berkata: “Tidak ada perintahnya,” karena ‘illat (alasannya) itu tidak ada. Sesungguhnya itu adalah
klaim yang tidak benar, bahkan memanjangkan ujung pakaian justru itu
menunjukkan kesombongan sendiri.Selesai. (Imam
Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Khuyala,
Juz. 16, Hal. 336, No hadits. 5354. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar
Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114. Maktabah Ad Da’wah).
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazbeliau
berkata dalam fatwanya:
والأحاديث في هذا المعنى كثيرة ، وهي تدل على تحريم
الإسبال مطلقا ، ولو زعم صاحبه أنه لم يرد التكبر والخيلاء ؛ لأن ذلك وسيلة
للتكبرولما في ذلك من الإسراف وتعريض الملابس للنجاسات والأوساخ أما إن قصد بذلك
التكبر فالأمر أشد والإثم أكبر
Artinya: Banyak hadits-hadits yang semakna dengan ini, yang menunjukkan
haramnya isbal secara mutlak,
walaupun pemakainya mengira bahwa dia tidak bermaksud untuk sombong, karena hal
itu menjadi sarana menuju kepada kesom-bongan, selain memang hal itu
merupakan israf (berlebihan),
dapat mengantarkan pakaian kepada najis dan kotoran. Ada pun jika memakainya
dengan maksud sombong perkaranya lebih berat lagi dan dosanya lebih besar. (Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah,
33/113)
Bukan hanya mereka para
ulama-ulama seperti di atas yang mengharamkan, Imam Adz- Dzahabi (bermadzhab Syafi’iyyah)
dan Imam Al-Qarrafi (bermadzhab Malikiyah) juga meng- haramkan.
Untuk sekarang ini para ulama pun berbeda pendapat.
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawiy tidak mengharamkan isbal kecuali dengan
sombong, begitu pula umumnya para ulama Mesir, Pakistan, India, dan lain-lain.
Sementara ulama-ulama yang mengharamkan seperti
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, para
ulama Lajnah Da’imah, sebagian
ulama Pakistan, Saudi Arabia, Yaman, dan lain-lain.
Bahkan Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan isbal dalam shalat adalah maksiat dan
shalatnya tidak sah. Katanya:
وأما المحرَّم لوصفه: فكالثوب الذي فيه إسبال، فهذا
رَجُل عليه ثوب مباح من قُطْنٍ، ولكنَّه أنزله إلى أسفلَ من الكعبين، فنقول: إن
هذا محرَّم لوَصْفه؛ فلا تصحُّ الصَّلاة فيه؛ لأنه غير مأذونٍ فيه، وهو عاصٍ
بِلُبْسه، فيبطل حُكمه شرعاً، ومن عَمِلَ عملاً ليس عليه أمرُنا فهو رَدٌّ.
Artinya: Ada pun hal yang diharamkan menurut sifatnya
adalah seperti pakaian yang menjulur, dia adalah seorang yang memakai pakaian
katun yang mubah, tetapi dia menurunkannya sampai melewati dua mata kaki. Maka
kami kata-kan: ini adalah diharamkan menurut sifatnya, dan tidak sah shalatnya,
karena itu tidak diizinkan, dan termasuk maksiat dengan pakaiannya itu, dan
secara syar’i hukumnya adalah batal, dan barang siapa yang beramal yang bukan
termasuk perintah kami maka itu tertolak. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin, Syarhul Mumti’,
2/154. Cet. 1, 1422-1428H. Dar Ibnu Al-Jauzi)
Inilah beberapa pendapat ulama yang membicarakan
tentang isbal. Oleh karena itu, seorang
juru dakwah diperbolehkan menjalankan apa yang menjadi keyakinannyaterkait
mana yang benar, tanpa ada sikap
pengingkaran terhadap orang lain. Semoga Allah mem-berikan
pahala dan dinilai sebagai upaya taqarrub bagi siapa saja yang menaikkan
pakaiannya di atas mata kaki atau setengah betis, tanpa harus di iringi sikap
merasa paling benar, keras, dan justru sombong karena merasa sudah menjalankan sunnah.
Sikap Yang
Seharusnya diMiliki oleh Para Da`i
Seorang da`i harus memahami masalah ikhtilaf
dan tidak boleh menyatakan pendapatnya yang paling benar jika ada yang
bertentangan dengan pendapatnya sendiri.Sebab hal ter-sebut dapat memicu
konflik sosial yang berdampak kepada masalah ukhuwah.Seorang da`i harus
mengutamakan akhlak dalam menyikapi masalah ikhtilaf.
Ada contoh akhlak para ulama salafus shalih dan para imam yang harus kita renungi ber-sama, seperti Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan ats-Tsauri Rahimahullah, sebagai berikut:
سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي
قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
Artinya: Jika engkau melihat seorang
melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat
lain, maka janganlah engkau mencela dan mencegahnya.”(Imam Abu Nu’aim al-Asbahany,Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal.
133. )
Imam An-Nawawidalam kitabnya al-Minhaj Syarh al-Muslim mengatakan sebagai berikut :
وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ
لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ
. ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا
الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ
كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ
الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد
وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
Artinya: Dan Adapun yang terkait
masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka
tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para
imam. Adapun dalam perkara yang masih di perselisihkan, maka tidak boleh ada
pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar.Ini
adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq).
Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah
kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al-Minhaj Syarh
Muslim, Juz 1, hal. 131, Pembahasan hadits no. 70, ‘Man Ra’a Minkum Munkaran …..’. )
Imam As-Suyuthiseorang ulama hadits dan tafsir
terkenal pernah mengatakan dalam kitab beliau Al-Asybah wa An-Nazhair
sebagai berikut:
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ
" لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ
عَلَيْهِ
Artinya: Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran
terhadap permasalahan yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran
tersebut hanya berlaku pada pendapat yang ber-tentangan dengan ijma’
(kesepakatan) para ulama.”(Imam
As-Suyuthi, dalam Al-Asybah wa An
Nazhair,1/285).
Syaikh Dr. Umar bin Abdullah Kamil mengatakan
sebagai berikut:
لقد كان الخلاف موجودًا في عصر الأئمة المتبوعين
الكبار : أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم . ولم يحاول
أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم .
Artinya: Telah
ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan.Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Auza’i, dan
lainnya. Tak satu pun mereka memaksa
yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melem-parkan tuduhan
terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan
itu.” (Dr.Umar bin
Abdullah Kamil, Adab Al-Hiwar wal Qawaid Al-Ikhtilaf, hal. 32. ).
Beliau juga mengatakan:
فالاجتهاد إذا كان وفقًا لأصول الاجتهاد ومناهج
الاستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم الإنكار عليه ، ولا ينكر مجتهد على مجتهد آخر
، ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى فتنة .
Artinya: Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan
dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan hukum)
dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib meng-hilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh
seorang mujtahid mengingkari mujtahid lain- nya, dan tidak boleh seorang muqallid mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian
maka akan terjadi fitnah.” (Dr.
Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar
wal Qawaid al-Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ al Islam.)
Imam
Syathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat, meriwayatkan qoul Imam
Qatadah yang mana qoul ini sangat masyhur dikalangan para fuqaha sebagai
berikut:
مَنْ
لَمْ يَعْرِفْ الِاخْتِلَافَ لَمْ يشمَّ أنفُه الْفِقْهَ
Artinya:
“Siapa saja yang tidak tahu (tidak mengakui) ikhtilaf, ia sama sekali tidak
bisa mencium Fiqih”(Imam Syathibi dalam Al-Muwafaqat 5/122).
Ok guys sekian dulu postingan blog saya kalau ada yg salah saya mohon maaf saya baru pemula bloger yang baru PDKT dengan bloger tahun 2016 ini hehehehe bagi yg mau kritik dan saran silahkan tinggalkan jejak kritik dan saran dapat membangun semangat saya .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar